KADER PARTAI AMANAT NASIONAL UTAMA ANGKATAN KE IV 2004   

Kamis, Oktober 28, 2010

Windiarto Kardono :Demokrasi Aklamasi,Sentralisme Demokratik dan Strategi konsolidasi PAN menghadapi pemilu 2014

Menjelang setahun kepengurusan DPP PAN periode 2010-2015 pada januari mendatang, berbagai upaya penataan kelembagaan dan konsolidasi organisasi partai guna menghadapi ‘hajatan politik lima tahunan’ 2014 mendatang mulai dilakukan. Penataan organisasi di DPP  tidak sekedar dilakukan dengan rekrutmen besar-besaran dalam struktur kepengurusan hingga mencapai lebih dari 100 orang personel BPH, tetapi juga membagi komposisi kepengurusan secara fungsional dan territorial  melalui badan-badan yang membawahi fungsi-fungsi kerja pada masing-masing bidang dan pembagian tanggung jawab pemenangan pemilu berdasarkan wilayah propinsi atau gabungan propinsi.
Penulis oleh: WINDIARTO KARDONO
Penataan juga menyentuh organisasi fraksi PAN, yang diharapkan tidak sekedar menjadi representasi partai yang berkualitas di parlemen tetapi juga menjadi etalase kebijakan partai dihadapan masyarakat luas. Bahkan usaha-usaha untuk mengoptimalisasi fungsi dan peran DPP sebagai sentral pemenangan pemilu secara nasional juga terlihat seperti pada salah satu tugas yang di emban wakil ketua umum, yakni bertanggung jawab dan memegang kendali terhadap manajemen pemenangan pilkada secara nasional. Apalagi jika menilik keinginan DPP untuk mencanangkan target perolehan suara 2 digit dan menempati posisi terbesar ke 2 dalam urutan partai-partai peserta pemilu 2014 yang akan datangtentu berbagai ikhtiar untuk melakukan perencanaan dan mengoperasikan berbagai program pemenangan partai akan lebih menjadi perhatian stakeholder partai di tingkat pusat.

DPP yang terpilih dari hasil demokrasi aklamasi pada Kongres PAN III di Batam yang lalu ini pun juga berupaya untuk melakukan penataan organisasi partai di tingkat propinsi (DPW) dan kabupaten/kota (DPD), melalui kebijakan ‘rekomendasi’ terhadap kandidat ketua-ketua DPW dan DPD, melalui kebijakan tersebut DPP memandang perlu untuk ikut terlibat melakukan seleksi terhadap calon-calon ketua partai. Sampai dengan bulan oktober, penulis mencatat kurang lebih separuh dari jumlah infrastruktur partai di tingkat DPW telah menyelesaikan program konsolidasi muswilnya, dan hampir tidak ada DPW yang merampungkannya dengan tidak melalui ‘proses aklamasi’ 

Aklamasi, sebagai salah satu mekanisme dan prosedur untuk memilih dan mengangkat pemimpin melalui cara musyawarah dan mufakat, meskipun bukan menjadi mekanisme yang wajib dilaksanakan oleh infrastruktur partai di seluruh tingkatan sebagaimana yang termaktub dalam AD/ART partai, tetapi selama setahun terakhir, praktik tsb seakan menjadi ritual wajib ketika infrastruktur partai melaksanakan konsolidasi organisasinya. Penulis sengaja mengangkat wacana demokrasi aklamasi tersebut bukan untuk menggugat keabsahan praktek aklamasi sebagai sebuah prosedur dan mekanisme untuk memilih dan mengangkat pemimpin, karena pada dasarnya setiap pemimpin tentu memiliki klaim bahwa mereka berkuasa berdasarkan prinsip-prinsip demokratik sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakatnya dan apapun klaim-klaim itu yang jelas demokrasi memang memiliki tafsir dan dipraktekkan secara berbeda-beda sesuai konteks permasalahan yang sedang terjadi.

Justru persoalannya adalah, 1. Apakah dinamika dan langgam kekuasaan di arena internal partai akan bergerak ke arah efektifitas dan efisiensi demi pencapaian tujuan organisasi daripada tuntutan pertanggungjawaban serta partisipasi kader dan konstituen? dan 2. Apakah praktik demokrasi aklamasi mampu menyajikan proses politik di internal partai secara lebih dewasa dan lebih dari itu mampu menghasilkan pemimpin partai yang sesuai harapan sebagaimana keinginan untuk mencapai target perolehan suara 2 digit dan 2 besar pada pemilu mendatang?

Harapan dari diskusi ini adalah dengan memahami dasar berfikir munculnya gagasan dan praktek aklamasi dalam kerangka desain strategi ‘sentralisme demokratik’konsolidasi partai menghadapi pemilu 2014, maka pihak-pihak yang memiliki kewenangan (DPP) dalam menyusun desain operasional pelaksanaan muswil dan musda, bisa melaksanakannya secara lebih bijak, dewasa, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip nilai demokrasi.

Demokrasi : antara efektifitas dan efisiensi ataukah pertanggungjawaban dan partisispasi?

Di semua belahan dunia, para pemimpin mengklaim bahwa mereka berkuasa berdasarkan prinsip-prinsip demokratik yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Para pemimpin Soviet menyebut negara-negara Eropa Timur sebagai Negara“demokrasi rakyat”. Cina daratan menyebut dirinya Republik Rakyat China. Korea Utara menyebut rezim mereka dengan Republik Demokrasi Rakyat Korea. Para pemimpin Afrika juga menyebut rezim-rezim mereka demokratik. Lihat saja bekas Presiden Ghana Kwame Nkrumah, suatu ketika mengatakan: “ masyarakat Ghana dilihat dari bentuk maupun tradisinya secara fundamental memiliki kharakteristik demokratik.”. Termasuk Indonesia di era terakhir rezim Soekarno dikatakan sebagai negara demokrasi yang disebut Demokrasi Terpimpin. Pada era rezim Orde Baru muncul pula istilah Negara Demokrasi Pancasila. Jika kita ikuti akan kita ketahui sederet panjang istilah klaim demokrasi mulai dari “demokrasi konstitusional”, “demokrasi liberal”, “demokrasi rakyat”, sampai dengan “sentralisme demokratik”, dan lain-lain.

Apapun klaim-klaim itu, yang jelas hal ini menandakan ideology demokrasi memiliki pengaruh yang luas, kendati seringkali ditafsirkan dan dipraktikkan secara berbeda-beda. Kuat kecenderungan demokrasi semakin memikat untuk dijadikan acuan dalam system politik tidak hanya banyak negara, tetapi juga berbagai organisasi social dan politik. Tercatat bahwa saat ini sekitar 62% dari 119 negara di dunia yang menjalankan demokrasi. Padahal pada tahun 1900 tidak ada satu Negara pun yang menerapkan apa yang sekarang dikenal orang sebagai demokrasi itu.

Dalam arti sempit, demokrasi, seperti dikatakan Schumpeter, merupakan sebuah metode politik, yakni mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga di beri kesempatan untuk memilih salah satu di antara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Sementara dalam pengertian secara komprehensif, gabungan antara pandangan liberal dan tradisi Marxian, bahwa setiap orang seharusnya bebas dan setara dalam menentukan kondisi kehidupannya, yaitu mereka harus memperoleh hak yang sama (dan karena itu juga kewajiban yang sama) dalam suatu kerangka pikir yang menghasilkan dan membatasi peluang yang tersedia untuk mereka. Prinsip-prinsip inilah yang disebut sebagai democratic autonomy yang membutuhkan baik akuntabilitas dalam derajat yang tinggi maupun partisipasi dari civil society (Sorensen, 2003:14-15)

 Dalam hubungan ini, demokrasi tidak dirancang secara khusus demi efektifitas dan efisiensi, tetapi juga demi akuntabilitas dan partisipasi; sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak secepat pemerintahan diktator, meskipun terlalu lambat juga berarti abai terhadap keinginan publik, namun dalam setiap pengambilan tindakan bisa dipastikan adanya dukungan publik. Dan demokrasi semestinya juga bukanlah produk yang telah selesai, melainkan sesuatu yang terus bertumbuh-kembang (Urofsky, 2001:2). Oleh karena terus berproses maka demokrasi pun selalu mendapat tantangan. Salah satu tantangan itu adalah tidak sekedar kesediaan tapi juga tanggung jawab rezim yang berkuasa untuk membuat system yang memasukkan kelompok yang dimarginalkan ke dalam praktik demokrasi yang lebih inklusif (Mar’iyah, 2005:2).

Pemahaman dikotomik tentang demokrasi antara kubu procedural dan substansial tersebut bukanlah perbedaan yang tajam dan saling bertentangan. Dalam uraian yang menarik, Pabottinggi (2007) menyebutkan bahwa antara kedua kubu atau perspektif itu bersambung satu sama lain. Hampir semua ahli yang menekankan pentingnya esensi atau substansi tak pernah menomorduakan niscayanya prosedur demokrasi. Pada yang procedural sekalipun terkandung yang esensial. Ini berarti bahwa rangkaian proses politik dalam demokrasi diadakan dan dijalankan pertama kali untuk menjunjung yag esensial. Inti dari keadilan procedural adalah distribusi kekuasaan, dan dalam konteks inilah, seperti dikatakan Tornquist (2007), bagaimana demokrasi menjadi bermakna, yakni demokrasi yang bisa bekerja dan cukup substansial sehingga dapat bermakna bagi semua.

Demokrasi diperkenalkan sebagai sebuah system politik memang berasal dari barat. Ia kemudian dibangun secara pesat sebagai suatu rangkaian institusi dan praktik berpolitik yang sejak lama dilaksanakan untuk merespons perkembangan budaya serta berbagai tantangan social dan lingkungan di masing-masing negara. Ketika mulai di transplantasikan ke dalam negara-negara non Barat dan beberapa negara bekas jajahan yang memiliki sejarah dan budaya yang berbeda, demokrasi tersebut memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, dan mengalami berbagai perubahan dalam penerapannya sesuai dengan lingkungan barunya yang berbeda. Bahkan menurut Scalapino, ketika institusi dan proses politik demokrasi dipinjam oleh masyarakat Asia, misalnya, usaha untuk mencocokkannya dengan kebudayaan asli merupakan pekerjaan yang berat (Chee, 1994:7).    

Aklamasi dan strategi konsolidasi organisasi

Proses pemilihan langsung melalui pemungutan suara dalam perkembangannya di Indonesia memang memberikan kenyataan yang plus-minus dalam kehidupan politik. Di satu sisi, ia merupakan wujud implementasi demokrasi yang elegan serta memberi peluang luas bagi partisipasi politik dari siapapun. Ia juga diyakini dapat mendorong pelaku kekuasaan untuk memiliki akuntabilitas yang tinggi dan responsive terhadap persoalan masyarakat pemilihnya. Di sisi lain, praktiknya ternyata masih berbicara lain, Ia masih banyak kekurangan dan terkadang dimanipulasi dan diselewengkan oleh sebagian kalangan yang ingin mengambil keuntungan melalui proses-proses demokratis tapi dengan niat-niat politik jahat yang jauh dari prinsip-prinsip nilai demokratis itu sendiri. Tetapi kekurangan tersebut bukanlah karena kesalahan demokrasi itu sendiri sehingga ia tidak dapat di tuding sebagai biang kerok ketidak-beresan, melainkan lebih sebagai konsekuensi dari masih berprosesnya masa transisi demokrasi. Karena kita juga sedang memulai dan belajar berpraktik dengan cara demokratis. Meskipun juga kekurangan–kekurangan serta hadirnya berbagai praktik yang berseberangan dengan etika dan moralitas politik tidak harus membuat lembaga dan proses demokrasi itu dibunuh. Yang diperlukan adalah menyempurnakan secara terus-menerus berbagai aturan main didalamnya, bukan dengan membunuhnya.

Fenomena yang menjadi pemandangan kurang elok dalam proses pemilihan melalui pemungutan suara diantaranya adalah permainan politik uang, dalam konteks konsolidasi organisasi partai, fenomena itu kerap terjadi pada saat pemilihan ketua dan juga pada saat pemilihan formatur -yang biasanya bertugas untuk menyusun kepengurusan organisasi-. Bukan rahasia lagi jika pada saat-saat konsolidasi organisasi seperti itu munculnya klausul dalam tatib pemilihan ketua/formatur yang mensyaratkan dukungan daerah atau cabang, oleh karena para calon ketua/formatur juga merasa saling membutuhkan, maka terjadilah praktek transaksi di pasar gelap politik. Harga surat dukungan yang dikeluarkan bisa bermacam-macam tergantung hasil negosiasi, bahkan bukan tidak mungkin standar harga yang telah ditetapkan calon lain yang lebih tinggi ikut mempengaruhi pasaran harga yang telah ditetapkan daerah atau cabang terhadap calon yang lain.

Praktik transaksi politik lain juga dijumpai dalam momen-momen saat menjelang pemilihan ketua/formatur. Bursa pasaran harga yang ditawarkan untuk memobilisasi dukungan saat pemilihan bisa berubah naik/turun dengan cepat sesuai dengan dinamika proses pemilihan yang terjadi. Jumlah uang beredar dalam momen konsolidasi organisasi seperti itu bisa mencapai ratusan juta bahkan miliaran rupiah untuk satu propinsi, dan puluhan sampai ratusan juta untuk  satu daerah.

Bila dihitung secara makro, maka bisa dibayangkan jumlah uang yang beredar hanya untuk permainan politik uang saat konsolidasi organisasi di 33 propinsi (muswil) dan kurang lebih 450an kota/kabupaten (musda), sedangkan disisi lain kebutuhan untuk mengelola organisasi politik, mulai dari melaksanakan konsolidasi dan koordinasi hingga infrastruktur organisasi terendah, sampai dengan pelaksanaan program pemenangan pemilu tentu membutuhkan jumlah uang dan logistic yang boleh dibilang tidak sedikit.

Sangatlah wajar jika beberapa kalangan berpendapat dari sudut pandang bisnis dan keuangan professional, ternyata mengelola organisasi politik (baca parpol) dengan kultur yang semacam itu, di luar logika dan kaidah berfikir manajemen yang benar. Begitulah, praktek money politics itu sesungguhnya ada dan terjadi dalam pemungutan suara ketika pelaksanaan konsolidasi organisasi partai yang mengagendakan pemilihan calon-calon pemimpinnya. Ibarat Jin, permainan politik uang itu barangnya memang tak keliatan tapi tidak jarang bisa membuat orang kesurupan. Tidak sedikit pula kader-kader partai politik yang lebih memilih dan mengedepankan calon-calon yang memiliki modal ekonomi kuat, tetapi kurang menimbang calon pemimpin dengan modal kemampuan politik dan habitus kepemimpinannya.

Fenomena lain yang juga menjadi pemandangan kurang elok dan selalu membayangi mekanisme pemilihan seperti itu adalah konflik yang terjadi pasca pemilihan. Dinamika yang terjadi saat proses pemilihan akan berpengaruh terhadap eskalasi konflik yang terjadi di antara para calon dan pendukungnya. Pelaksanaan muswil dan musda yang seharusnya menjadi media untuk memperkuat kapasitas organisasi dengan penegasan cita-cita dan tujuan organisasi, serta menjadi media untuk memperkuat tertib organisasi melalui penyusunan dan pembuatan aturan main, juklak, pedoman bahkan program organisasi, ternyata malah tidak menjadi perhatian penting kader-kader partai yang terlibat dan berpartisipasi dalam proses tersebut. Ekses dari konflik pasca pemilihan yang sering dijumpai adalah pada saat rekrutmen dan penyusunan komposisi kepengurusan, tidak jarang pula konflik tersebut juga ikut merembet pada proses konsolidasi di tingkat bawah. Pembelahan kader di daerah itu terjadi akibat partisipasi mereka dalam proses konsolidasi organisasi di tingkat atasnya .

Atas dasar persoalan-persoalan itu munculah gagasan, agar proses demokrasi internal partai tidak dicederai oleh pemandangan kurang elok tersebut, maka upaya untuk membuat proses konsolidasi organisasi menjadi lebih efektif dalam arti terhindar atau minim konflik, lebih perhatian terhadap soal-soal substansi konsolidasi seperti penguatan cita-cita dan perumusan aturan main organisasi dalam AD/ART, dan menjadi lebih efisien dalam arti tidak berbiaya tinggi, meminimalisir permainan politik uang, bahkan harapan putaran uang yang akan dihambur-hamburkan dalam proses konsolidasi nantinya bisa di simpan untuk mempersiapkan program pemenangan pemilu, maka metode  AKLAMASI menjadi pilihan jalan untuk menghindari metode pemungutan suara karena ternyata mudlaratnya di anggap lebih besar dari pada manfaatnya berdasarkan konteks kultur partai yang seperti itu. Selain juga munculnya gagasan agar dalam pelaksanaan konsolidasi organisasi meniadakan proses pemilihan formatur, serta ide tentang pentingnya keterlibatan DPP untuk ikut menseleksi kepemipinan di DPW dan DPD melalui kebijakan rekomendasi terhadap calon-calon ketua DPW dan DPD.

Sebagai sebuah metode politik untuk memilih pemimpin organisasi, selama memang dilakukan atas dasar musyawarah dan mufakat, transparan, jujur, bukan melalui kekerasan bahkan pemaksaan dan karenanya akan semakin menguatkan dukungan dan partisipasi pemilih terhadap figure kepemimpinan yang diharapkan bisa mencapai tujuan dan cita-cita organisasi, maka AKLAMASI boleh jadi lebih bernilai demokratis daripada menggunakan instrument melalui pemungutan suara tetapi penuh manipulasi, permainan politik uang, dan figure kepemimpinan yang dihasilkan tidak seperti yang diharapkan untuk mengemban amanat dan cita-cita perjuangan organisasi.

Dalam kerangka desain strategi konsolidasi dengan pendekatan ‘sentralisme demokratik’, penerapan metode aklamasi yang didukung kebijakan rekomendasi terhadap calon-calon ketua yang akan berkontestasi, harusnya memunculkan figure kandidat yang benar-benar tidak sekedar bisa diterima tetapi juga memiliki kemampuan di atas rata-rata kandidat lain yang sedang bertarung. Tetapi jika figure kandidat yang ‘dimunculkan’ dan ‘diharapkan’ menang secara aklamasi tersebut, ternyata dalam proses seleksi yang dilakukan oleh DPP tidak mempertimbangkan faktor2 objektif yang harus dimiliki seorang kandidat sebagai instrument pendukung dalam menjalankan amanat yang akan di pikulnya, hal itu semakin menjelaskan bahwa dengan aklamasi pun ternyata juga tidak menjamin figure kepemimpinan yang dihasilkan bisa lebih baik dari metode pemungutan suara meskipun dipenuhi praktek permainan uang dan manipulasi. Apalagi dari sisi akuntabilitas, ternyata kandidat yang muncul adalah mereka yang terbukti pernah gagal mengemban amanat organisasi, seperti pada kepemimpinan sebelumnya yang terbukti gagal untuk mendongkrak perolehan suara partai di wilayah masing-masing, bahkan pada hasil kepemimpinan sebelumnya tersebut didapati penurunan suara partai secara drastis.

Demokrasi aklamasi yang lahir dari konteks persoalan seperti itu tidak akan bisa berkembang dan mewujud secara substansial dan bermakna jika hanya dibiarkan untuk ditafsirkan secara dangkal oleh para pemburu kuasa sesuai selera mereka sendiri-sendiri. Dalam kacamata yang lebih luas, desain strategi ‘sentralisme demokratik’ sebagai pijakan untuk mengelola konsolidasi partai, tidak sekedar cukup dengan melahirkan kepemimpinan yang patuh dan taat azas terhadap kebijakan partai, tetapi juga bagaimana mengelola kehidupan politik kepartaian secara demokratis. Metode aklamasi hanya untuk memilih pemimpin. Tetapi apa yang dilakukan pemimpin setelah terpilih tak kalah pentingnya untuk selalu dan tetap mengacu pada nilai-nilai dan kaidah-kaidah demokratik.

Perilaku kekuasaan cenderung bergerak dalam kerangka kepentingan elit, karena itu memerlukan check and balances dan partisipasi kader. Seperti dikatakan liddle (2001) bahwa praktik demokrasi harus dijauhkan dari pola “demokrasi kaum penjahat”. Kita tentu tidak menginginkan partai yang lahir dari rahim reformasi, secara perlahan dan tanpa sadar tersusupi praktek dan pola-pola demokrasi ala kaum penjahat. Praktik kekuasaan tanpa pertanggung-jawaban sesungguhnya juga mengandung siasat kaum penjahat sehingga terkadang sulit ditembus, kebal kritik, dan sampai tingkat tertentu juga menggunakan instrument kekerasan dan pemaksaan dalam melegalkan kebijakan-kebijakannya. Semoga Allah menghindarkannya.

Selamat konsolidasi untuk PAN menyongsong sukses 2014………